Artikel

Dimensi Esoterik dan Eksoterik Pemahaman Agama

Dalam menyemai sikap moderat dalam beragama

Pendahuluan

  1. Latar belakang Masalah

Agama diturunkan Allah Swt untuk kepentingan manusia bersifat mutlak dan absolut kebenarannya. Ia diturunkan dari sumber yang satu. Dalam perjalanan sejarah manusia, agama menjadi terpecah-pecah. Setiap manusia, dengan kecenderungan tertentu atau karena lingkungannya dekat dengan agama tertentu, dia memilih agamanya. Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada lima agama yang diakui; Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu. Kelima agama tersebut dijamin undang-undang untuk mengembangkan diri secara positif.

Dalam kenyataan, kebebasan untuk mengembangkan diri secara positif, bagi tiap-tiap agama tersebut, tidak sedikit muncul gesekan, amarah bahkan kebencian yang terkadang berujung pada kekerasan, baik fisik maupun mental, yang notabene hal-hal tersebut dilarang oleh setiap agama. Gesekan-gesekan tersebut bisa disebabkan oleh, baik faktor teologis (pemahaman agama), politik maupun ekonomi.

Agama Islam dan agama agama lain juga mempunyai tujuan yang sama yakni menjadikan pemeluknya, selain menjadi baik secara pribadi juga baik secara sosial. Adanya kepentingan tertentu menjadikan baik sesama pemeluk agama dalam satu agama maupun yang berbeda agama, terjadi konflik. konflik bisa terjadi, baik karena kepentingan ekonomi yang terganggu ataupuna karena salah satu pihak tidak memahami makna yang paling dalam sesorang beragama.

Dalam beragama setidaknya ada dimensi lahir dan batin, dimensi pemahaman eksoterik dan esoterik. Dimensi eksoterik lebih menekankan pada sifat lahirnya bergama. Beragama sebagai suatu harapan memiliki dan mengambil secara penuh dimensi lahir ajaran agama tanpa menyelam ke lubuk batini agama. Sedangkan pemahaman esoterik lebih menekankan dimensi batin pemahaman agama, yakni ajaran terdalam yang terbebas dari unsur-unsur kepemilikan mutlak suatu pemahaman tertentu.

Dalam masyarakat yang multi kultural dan multi etnis perlu dikemukakan pemahaman atau filsafat yang menjembatani pemeluk agama untuk secara seimbang mempelajari dimensi lahir dan batin suatu agama. Sehingga dengan pemahaman yang seimbang menjadikan dirinya bisa menempatkan posisi yang wajar, yakni, sembari mempelajari agamanya juga memberikan sikap positip terhadap agama lain. Sikap tersebut bisa didapat setidaknya dengan memahami agama, baik dimensinya yang eksoterik maupun yang esoterik

Disamping hal-hal di atas salah satu misi Kementerian Agama adalah untuk mengarahkan pemeluk agama supaya pemahaman yang dipahami dan diamalkan oleh seluruh bangsa dengan paham dan bentuk pengamalan yang moderat. Yakni yang merupakan titik temu dua titik ekstrim Dan bahwa seluruh program Kementerian Agama juga ditujukan untuk mencapai kesadaran pada umat beragama agar paham agama yang dianutnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

  • Rumusan Masalah
  • Apa landasan teologis Islam dalam bersikap moderat
  • Apa yang dimaksud Pemahaman esoterik dan eksoterik
  • Sumbangan apa yang bisa didapat dari pemahaman tersebut dan apa kaitanya dengan bersikap moderat dalam beragama
  • Tujuan dan kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini:

  1. Memahami landasan teologis islam dalam bersikap moderat
  2. Memahami makna pemahaman esoterik dan eksoterik agama
  3. Memahami  sikap moderat dalam beragama

Adapun kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:

  1. Mendorong setiap pemeluk agama untuk bersikap moderat dalam kehidupan bermasyarakat yang multi kultural dan multi etnis
  2. Kerangka teoritis

Moderasi agama adalah sebuah cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat. Moderat di sini dalam arti tidak berlebih-lebihan atau ekstrem. Jadi yang dimoderasi di sini adalah cara beragama, bukan agama itu sendiri.

Tujuan pembuatan kebijakan penguatan moderasi beragama pada dasarnya untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat beragama, melindungi hak-hak pemeluk agama dalam menjalankan kebebasan beragama, mewujudkan ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan kegamaan serta untuk mewujudkan kesejahteraan umat beragama.

Indikator moderasi beragama secara umum yakni tawasuth (pertengahan), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), i’tidal (konsisten, tegas dan berlaku adil)

Moderasi Islam adalah sebuah pandangan atau sikap yang selalu mengedepankan pertengahan dalam mengambil sikap terhadap disparitas atau perbedaan yang ada di masyarakat., Islam mengajarkan sikap saling menghormati, toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban.

Adapun pemahaman esoteris berpandangan bahwa Dogma agama bukanlah dogma yang muncul dari agama itu sendiri, akan tetapi dogma adalah anggapan dari pemeluk agama kemudian dicampur-adukan antara ide itu dan dan bentuk yang mewadahinya. Padahal, dogmatisme berbagai kebenaran universal secara lahiriyah dapat dibenarkan sepenuhnya berdasarkan kenyataan bahwa kebenaran-kebenaran atau ide-ide tadi, dalam memberikan dasar bagi suatu ajaran agama, harus mampu dipahami sampai pada taraf tertentu oleh semua orang. Di lain pihak, eksoterisme pada dasarnya merupakan pandangan yang didasarkan pada kepentingan pribadi (perumus dogmatisme). Oleh karena itu, kebenaran eksoterisme bersifat terbatas

  • Sistematika Pembahasan

tulisan ini berusaha mencari landasan teologis, dalam hal ini Islam, tentang keragaman agama serta meminjam teori esotoris dan eksoteris pemahaman agama dan sikap kita terhadap pandangan yang berbeda sehingga setiap pemeluk agama bisa saling memahami keragaman agama yang pada gilirannya dengan hal tersebut bisa sedikit meminimalisir gesekan, amarah dan kebencian antar pemeluk agama.

Landasan Keragaman Agama dalam Islam

Keragaman manusia dan agama, setidaknya didapatkan dalam al-Quran; 2:213, 11: 118 dan 10: 19, yang artinya diurut sebagai berikut:

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat,

Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu


Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa sejak dini sekali umat manusia di alam dunia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Akan tetapi, kesatuan tersebut karena wahyu Allah yang disampaikan kepada para Nabi menjadi berbeda-beda dan secara historis wahyu tersebut seakan-akan menjadi penyebab serta sumber perpecahan umat ke dalam berbagai agama dan golongan.

Di sisi lain, Islam menekankan bahwa kepercayaan kepada Tuhan sama tuanya dengan kelahiran umat manusia (Ali, 1971:11) setiap Nabi yang diutus Allah dari adam hingga Nabi Muhammad SAW menyeru kepada kalimat “lailaahaillallah” .Dengan kata lain, setiap Nabi merupakan rentetan estafet risalah dalam rangka menjaga moral umat manusia dari penyelewengan. Konsep Tuhan yang demikian menimbulkan pandangan tauhid tentang universalitas kesatuan antara Allah sebagai pencipta di satu sisi, dengan manusia dan alam di sisi lain. Kesatuan dari ketiga-tiganya tidak bertentangan dan tidak tersekat-sekat. Akan tetapi kesatuan ketiga-tiganya itu bukan merupakan kesatuan substansial secara hakiki.

Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa agama yang dibawa para Nabi sebelum Nabi Muhammad adalah Islam, meski dalam cara beribadah dan hukum agama berbeda-beda. Perbedaan itu wajar karena adanya perbedaan ruang dan waktu serta zaman yang berlainan. Perbedaan ruang dan waktu diturunkan wahyu pada setiap Nabi menyebabkan keragaman agama dan segala jenis dogma yang timbul dari setiap agama tersebut. Selanjutnya setiap pemeluk agama mengklaim bahwa agama dan cara ibadahnya saja yang paling benar serta diterima Tuhan, orang di luar agamanya adalah salah dan harus diselamatkan. Jika pemahaman ini dikembangkan, maka sinyal al-quran agar setiap manusia, golongan, suku, ras agar saling memberi informasi, saling kenal guna kemajuan bersama menjadi ajaran yang tidak membumi, diakui kebenarannya tetapi tidak dilaksanakan umat manusia.

Ajaran agama yang sedianya menekankan pada kebaikan bersama, rukun dan damai tetapi ketika ajaran tersebut di absolutkan oleh pemeluk agama akan menjadi problem keagamaan serius bagi pemeluk agama. Di mana pemeluk tersebut akan terus digelayuti pertanyaan dalam dirinya, kenapa agama yang seharusnya menebarkan kebaikan tetapi pada kenyataannya pemeluknya saling benci, marah dan bertengkar. Pertanyaan tersebut akan, terus menerus ada dalam dirinya, sampai dia menemukan jawabannya sesuai dengan tingkat pengetahuan dan intelektualitasnya .

Dimensi esoteris dan Eksoteris Pemahaman Agama

Setidaknya jawaban filosofis atas pertanyaan yang muncul dalam diri pemeluk agama yang prihatin akan kondisi nyata hubungan antar agama adalah jawaban filosofis yang pernah dikemukakan oleh Frithof Schuon atau yang dijuluki Muhammad Isa Nururddin ( Schuon : 1987, hal. 2). Menurutnya, para pemeluk agama secara tidak sadar telah terjebak pada “memfinalkan” pengetahuan yang didapat tanpa membuka kemungkinan pembacaan ulang. Dengan kata lain, setiap pemeluk agama selalu menggunakan cara pandang yang eksklusif, terbatas pada pengalaman pengetahuan yang didapat, padahal pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan daya tangkap ilmuwan dan penemuan mutakhir. Sikap ini memunculkan paham “dogmatisme” dalam ajaran agama.

Padahal, bila suatu dogma agama dipahami dalam terang inti kebenarannya secara universal, maka pandangan eksklusif dengan sendirinya akan hilang. Pandangan universal ini yang dinamakan esoterisme. Dogma agama bukanlah dogma yang muncul dari agama itu sendiri, akan tetapi dogma adalah anggapan dari pemeluk agama kemudian dicampur-adukan antara ide itu dan dan bentuk yang mewadahinya. Padahal, dogmatisme berbagai kebenaran universal secara lahiriyah dapat dibenarkan sepenuhnya berdasarkan kenyataan bahwa kebenaran-kebenaran atau ide-ide tadi, dalam memberikan dasar bagi suatu ajaran agama, harus mampu dipahami sampai pada taraf tertentu oleh semua orang. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa dogmatisme sering tampak, bukan hanya dalam ketidakmampuaanya memahami sifat hakiki dari symbol yang tidak terbatas, yaitu sifat universal yang dapat mengatasi segala pertentangan lahiriah, disamping ketidakmampuannya mengakui hubungan batin antara dua kebenaran yang kelihatannya bertentangan. ( Ibid. 3).

 Dari sini, perlu di sadari bahwa pluralisme agama tidak dalam pertentangan secara substansial, namun karena dogmatisme para pengikutnya, maka kenyataan pluralistik tidak dalam kesadaran kesatuan dan kesinambungan.

Di lain pihak, eksoterisme pada dasarnya merupakan pandangan yang didasarkan pada kepentingan pribadi (perumus dogmatisme). Oleh karena itu, kebenaran eksoterisme bersifat terbatas ( tidak universal). ( Ibid: 8) konsekuensinya, Schoun menyatakan bahwa setiap pandangan eksoterisme akan menyatakan dirinya sebagai satu-satunya pandangan yang benar dan absah, karena sudut pandang eksoterisme memang hanya menyangkut diri dan kepentingannya, yakni keselamatan, sehingga bagi sudut pandang tersebut, tidak ada gunanya mengetahui kebenaran dari bentuk agama lain atau bahkan menolak kebenaran agama-agama lain (Ibid: 17)

Pandangan tentang esoterisme dan eksoterime di atas, jika dikaitkan dalam konteks keragaman agama di Indonesia, akan relevan jika dihubungkan dalam rangka meredam bibit “ kebencian” terhadap pandangan yang berbeda, baik dalam satu agama, lebih-lebih pada tingkat hubungan antara agama. Kesadaran esoteris akan memunculkan kesadaran universal yang mendorong seseorang untuk mengakui keterbatasan dirinya, baik ilmu maupun pengalamannya sehingga terus menerus berusaha belajar memahami realitas diri, alam dan lebih penting adalah Sang Pencipta, sebagai sumber dari realitas ini.

Pandangan esoterime dan eksoterisme juga memberikan ruang bahwa secara eksoterisme agama mempunyai otonomi sendiri-sendiri dalam mengembangkan tekhnik dakwah dan misi penyebarannya kepada umat manusia, sembari memberi ruang bagi pandangan lain untuk hidup dan berkembang. Dan tatkala terjadi gesekan dalam wilayah eksoterisme, setiap pemeluk wajib kembali pada pandangan akan keesaan Tuhan yang dengan keesan-Nya itu Allah menciptakan manusia dalam berbagai suku dan golongan untuk saling memberi kenal-mengenal dan memberi informasi demi terwujudnya kebaikan bersama. Disamping itu, teknis dakwah pada era sekarang seharusnya lebih menekankan pada sisi isu-isu kemanusiaan universal; pengentasan kemiskinan, pemberdayaan manusia, advokasi orang-orang kecil dll. Dengan kata lain, pemeluk agama hendaknya lebih menekankan pada dakwah nyata bukan dakwah retorik.

Pemahaman akan dimesni esoteriak dan ekstorik agama pada giliranya menjadikan setiap orang bersikap moderat, karena bisaa memahamai perbedaan yang ada dengan meliaht dirinya sebagai makhluk terbatas sehaingga memerlukn pihak lain sebagai pembanding akan keilmuan dan pengalamanya.

Dalam kaitan ini benarlah apa yang dikatakan salah satu Imam mazhab empat yang menyatakan, bahwa “Mazhabku benar, dan mengandung kemungkinan kesalahan. Dan mazhab selainku salah, tapi mengandung kemungkinan benar”. Statemen tersebut memang berkaitan dengan hubungan antara mazhab fikih dalam satu agama, dalam rangka memberikan ruang bagi pendapat yang berbeda. Jika statemen tersebut kita tarik lebih jauh pada wilayah hubungan antara agama di Indonesia, maka bisa disusun dalam pernyataan sebagai berikut;

Pandangan/ajaran agama yang saya pahami benar, tetapi mengandung, karena keterbatasan ilmu dan pengalamanku tentang agamaku, bisa jadi mengandung kemungkinan kesalahan. Dan ajaran agama diluarku adalah salah, tetapi karena tidak cukup info dan pengetahun tentang ajaran tersebut, maka kemungkinan mengandung kebenaran”.

Demikian artikel singkat ini saya buat, mudah-mudahan bermanfaat.Wallahu’alam bishshowaab

DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Quran dan Terjemahannya
  2. Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, terj. Yogyakarta : Ananda, 1982
  3. Frithof Schuon, Mencari titik Temu Agama-agama, terj. Saafroedin Bahar, Jakarta: Yayasan Obor: 1987
  4. Muhammad Maulana Ali, Islamologi, terj. Bachrun dkk., Jakarta : Penerbit Ichtiar Baru, 1993

About the author

azis azis

Add Comment

Click here to post a comment

Butuh Bantuan ?