- Latar belakang
Nikah adalah salah satu cara manusia untuk mengembangkan biakan keturunan. Islam mengajarkan akan kebaikan menikah dibanding membujang ,hidup sendiri. Maka ulama klasik dalam rangka menjaga dan merawat pernikahan mempersyaratkan beberapa hal yang tercakup dalam syarat dan rukun nikah. Salah satu rukun nikah adalah adanya wali nikah dalam suatu pernikahan. Pernikahan tanpa adanya wali dianggap tidak sah.
Wali nikah juga menjadi salah satu rukun nikah dalam undang undang perkawinan di Indonesia. Undang-undang perkawinan mengadopsi rukun nikah ulama klasik ditetapkan sebagai salah satu syarat sahnya nikah. Hal ini karena pentingnya wali sebagai penanggungjawab dari anak yang dibawah perwalianya. Akan tetapi pentingnya wali itu apakah merupakan keharusan atau hanya sebagai anjuran atau penyempurna.
Sebagai penanggungjawab maka dibutuhkan seorang wali kemampuan menentukan jalan hidup atau memilihkan pasangan yang tepat orang yang dibawah perwaliannya. Maka dalam fikih bapak dan kakek, karena kedekatan mereka dan kasih sayangnya. Kepada perempuan di bawah perwaliannnya, mempunyai hak ijbar, yakni memilihkan pasangan tanpa mendapat persetujuan anak atau cucu yang akan dinikahkannya, Dikarenakan wali orang yang mengetahui baik buruknya calon pasangan bagi anak gadisnya atau orang yang di bawah perwaliannya.
Laki-laki dalam pandangan ulama klasik mendominasi segala aspek kehidupan sampai dalam masalah wali, laki-laki menjadi salah satu syarat wali. Hal ini menggugah untuk mencari latar belakang wali nikah kenapa berasal dari kalangan laki-laki dan perempuan tidak diperkenankan.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang hal di atas tulisan ini akan membahas tentang wali nikah dalam pandangan klasik dan modern serta analisa dari penulis dengan rumusan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana pandangan wali menurut mazhab Klasik, ulama kontemporer dan hukum positif serta latar belakang historis laki laki sebagai Syarat wali
- Apakah seorang wanita yang dewasa dan mempunyai akal yang sempurna bisa menjadi wali nikah dan bisa menyelenggarakan akad nikah sendiri?
- Kegunaan Tulisan
- Tulisan ini berguna untuk mengetahui macam perbedaan pendapat tentang wali nikah menurut ulama mazhab Hanafi dan Syafii dan latar belakang dipilihnya mazhab Syafii sebagai yang dominan dalam Kompilasi hukum Islam
- Untuk mengetahui pandangan alternatif tentang wali dalam kalangan mazhab selain Syafii.
- Tujuan dan kegunaan Tulisan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui arti wali nikah
- Mengetahui sejarah wali nikah dari kalangan laki-laki
- Perbedaan pendapat tentang wali nikah menurut ulama mazhab Hanafi dan Syafii dan latar belakang dipilihnya mazhab Syafii sebagai yang dominan dalam Kompilasi hukum Islam
- Untuk mengetahui pandangan alternatif tentang wali dalam kalangan mazhab selain Syafii.
- Kerangka Teoritis
Pengertian Wali Secara etimologis wali mempunyai arti penolong atau penguasa. Wali memiliki banyak arti antara lain:
a. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya,sebelum anak itu dewasa.
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
c. Orang saleh (suci), penyebar agama
d. Kepala pemerintah dan dan sebagainya.
Yang dimaksud wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan, dalam suatu akad nikah.16 Sedangkan fiqh lima mazhab menjelaskan perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karna kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatan.
Menurut Smith perkawinan Baal adalah satu-satunya jenis hubungan antar jenis kelamin yang dianggap sah pada masa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam masyarakat Arab terdapat dua jenis kekerabatan dan perkawinan yakni matrilineal dan perkawinan shadiqah. Serta patrilineal dengan perkawinan baal Kedua jenis perkawinan ini mengantarkan kepada hukum kekerabatan yang berbeda dan mengakibatkan perbedaan-perbedaan yang penting dalam posisi perempuan dan juga dalam keseluruhan struktur hubungan sosial
- Metode Penelitian
Tulisan ini bersifat deskriptif yakni akan menggambarkan secara keseluruhan obyek yang dikaji secara sistematis
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deduktif, yakni pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum kemudian diarahkan kepada hal yang bersifat khusus.
Pertama Bahan Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan beda agama.
Kedua, Bahan sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, tesis, disertasi, jurnal dan seterusnya.
Ketiga, Bahan tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif, yakni analisis data melalui penafsiran atau pemaknaan terhadap permasalahan yang dikaji.
- Sistematika Pembahasan
Sistemtika pembahasan tlisan ini adalah sebagai berikur
Bab pertama berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan
Bab kedua berisi tentang wali nikah dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif yang berisa penjelasan wali nikah meurut hukum Islam dan positif dilanjutkan dengan
Bab ketiga berisi tentang pandangan ulama klasik dan kontempore dilanjutkan
Bab keempat berisi analisa tentang wali nikah
Bab kelima berisi penutupan yang berisi kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN UMUM WALI NIKAH
- Wali dalam pandangan ulama klasik
Seluruh ulama sepakat bahwa wali dalam pernikahan adalah faktor sangat penting. begitu juga menurut Mazhab Hanafi, wali nikah ditujukan untuk orang yang hilang ahliyyah. seperti orang gila, idiot, anak kecil belum mumayyiz dan naqis ahliyyah yakni anak kecil sudah mumayyiz. Karena sebab di atas maka diperlukan wali sehingga akad dapat dianggap sah menurut hukum. Oleh karena itu, bagi Mazhab Hanafi perempuan dewasa dan berakal sehat bisa atau boleh menjadi wali, baik bagi dirinya atau untuk orang lain. Pandangan ini didasarkan atas praktek Aisyah yang menikahkan anak perempuan sahabatnya yakni hafsah binti Abdurahman, dimana pada saat itu Abdurahman sedang melakukan perjalanan ke Syam. Riwayat tersebut disampaikan oleh Imam Malik. Selain itu diriwayatkan juga pada zaman Ali ibn Abi Thalib bahwa ada seorang perempun menikahkan anaknya. Hal ini dijadikan pegangan oleh Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya. Dimana perempuan itu menikahkan anak perempuannya, kemudian wali datang dan tidak setuju mereka meminta pendapat Ali dan Ali membolehkannya.
Kasus di atas menunjukan bahwa perempuan boleh menikahkan dirinya dan orang lain dan persetujuan wali diperlukan bagi anak yang belum mempunyai kemampuan menentukan kehidupannya sendiri. Disini peran wali sebagai orang yang mengerti kebutuhan orang yang di bawah perwaliannya dalam rangka menghilangkan kemudharatan bagi perempuan yang merupakan tujuan hukum Islam itu sendiri. Adapun izin Wali adalah berlaku bagi anak kecil yang belum mempunyai kecakapan atau kemampuan untuk mengurusi dirinya sendiri, disini , Wali dipandang mengerti apa yang terbaik bagi orang yang dibawah umur untuk menikah. beberapa alasan mazhab Hanafi tentang kebolehan wanita bisa menjadi wali nikah.
Pertama, hadis tentang aisyah yang menikahkan anak perempuan dari abdurrahman diakui jumhur ulama yang sekaligus hadits tersebut melemahkan hadis yang menjadikan laki-laki sebagai syarat dalam perwalian disamping itu ulama madzhab hanafi berpendapat tindakan aisyah menikahkan perempuan tersebut sebagai nasakh atau penghapus atas hadits hadits Aisyah sendiri yang menjadikan laki-laki sebagai syarat mutlak sebagai wali nikah atau setidaknya dianggap sebagai ingkar rawi dalam ilmu hadits dengan kata lain hadits-hadits Aisyah yang menyebutkan tentang larangan perempuan dewasa untuk menikahkan dirinya sendiri atau orang lain adalah hadis doif atau lemah. Hadis Aisyah yang meyebutkan
االمراة لا تلي عقدة النكاح
Hadis di atas menurut Al-Syaibani bukan hujjah perempuan dewasa tidak boleh melaksanakan akad nikah karena hadits lain yang menyebutkan harus ada Wali, ditujukan bagi wanita yang masih kecil, sedangkan bagi wanita dewasa ditujukan untuk menghormati keluarga.
Kedua, hadis yang berbunyi;
لاتزوج المراة المراة ولا تزوج المراة نفسها فان الزانية التي ثزوج نفسها
Menurut Abu Hanifah hadis tersebut jika pun diterima maka larangan di dalamnya tidak menunjukkan batalnya perbuatan, hanya berdosa saja bagi yang melakukannya. Abu Hanifah membedakan istilah batal dengan fasid . Batal menurutnya larangan yang jika dilakukan mengakibatkan batal perbuatan tersebut, akan tetapi fasid adalah larangan yang bila dikerjakan tidak membatalkan, hanya pelakunya berdosa. Maka imam Abu Hanifah memaknai Hadis لاتزوج المراة المراة dengan dua makna yakni hadits tersebut mengisyaratkan menurutnya seorang perempuan yang sudah dewasa dilarang menikahkan perempuan yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil dilarang dilarang menikahkan perempuan yang masih kecil jika ada Wali laki-laki
Sedangkan hadis المراة ولا تزوج المراة نفسها, Hadits ini menunjukkan adanya larangan bagi perempuan yang masih kecil menikahkan dirinya sendiri dan hadis lanjutannya, فان الزانية التي ثزوج نفسها memerlukan, menurut Al-Syaibani, pengkajian ulang untuk mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut.
Selanjutnya adalah bahwa Imam Abu Hanifah menggunakan illat mustambit dari nas, yakni kebebasan dan kemampuan akal perempuan dalam penggunaan harta yang sederajat dengan laki-laki. Akad jual beli menurut beliau adalah layaknya akad nikah layaknya akad muamalah, dimana dalam bermuamalah misalnya jual beli, perempuan juga yang sudah balig dan cerdas boleh melakukannya sendiri tanpa adanya pengawasan wali begitu pula akad lain yang berhubungan dengan kemaslahatan perempuan dia lebih mengerti terhadap dirinya daripada orang lain. Dengan kata lain kedudukan wali nikah laki-laki hanya sebagai penyempurna, karena wanita dewasa lebih mengerti akan dirinya sendiri.
Lain Imam Abu Hanifah lain Imam Syafi’i. Bagi Imam Syafi’i akad nikah merupakan masalah yang penting dibandingkan dengan akad-akad lain Yakni dengan tujuan membentuk keluarga yang harmonis sejahtera dan bahagia untuk menjaga keturunan. Persoalan ini atau pernikahan tidak bisa dilaksanakan oleh pihak-pihak yang mempunyai akal yang sempurna. Oleh karena itu Wali sangat mutlak dalam pernikahan baik itu pernikahan orang dewasa ataupun anak kecil karena wanita dianggap memiliki kekurangan, di samping wanita mempunyai sifat mudah dipengaruhi oleh perasaan atau bertindak secara subjektif sehingga tidak bisa mewujudkan kemaslahatan. Maka pernikahan tidak bisa diserahkan urusannya kepada seorang perempuan. Sehingga perempuan selamanya tidak bisa dan tidak boleh menikahkan dirinya apalagi menikahkan orang lain hanya laki-laki lah yang berhak menjadi wali.
Imam Syafi’i mendasarkan pendapatnya kepada hadis yang berisi tentang tidak boleh perempuan menikahkan perempuan dan perempuan tidak boleh menikahkan dirinya. Karena Wanita yang menikahkan dirinya sama dengan berzina Adapun tentang Aisyah yang telah menikahkan anak perempuan yakni Hafsah binti Abdurrahman yang menjadi pendapat mazhab Hanafi Bagi Mazhab Syafi’i, menganggap Aisyah hanya meminang bukan menikahkan, dan tatkala keluarga perempuan itu datang urusan pernikahan diserahkan kepada walinya. lalu Mazhab Syafi’i menguatkan dengan perkataan Aisyah sendiri yang berkata bahwa wanita tidak memiliki hak menyelenggarakan akad nikah dan hadis hadis Aisyah lainnya.
Disamping itu ulama Syafi’iyah membantah adanya qiyas antara akad jual beli dengan akad nikah mereka menganggapnya berbeda sama sekali akad nikah mempunyai tujuan yang besar sedangkan jual beli hanya akad perseorangan yang konsekuensinya atau resikonya sangat kecil
Al-Qarafi menjelaskan perbedaan antara akad jual beli dengan nikah yakni akad nikah adalah akad yang penting menyangkut hubungan kehormatan yang mahal sehingga perlu pihak pihak yang menyelenggarakannya harus wali di samping akad nikah termasuk akad yang membutuhkan kecakapan berpikir tidak bergantung hawa nafsu di mana perempuan atau wanita dianggap memiliki kekurangan dalam berpikir dan lebih banyak menggunakan perasaannya sedang jual beli hanya perlu keridhoan antara pihak penjual dan pembeli. Yang terakhir adalah bahwa dampak pernikahan sangat besar, misal, pernikahan yang dilakukan perempuan tersebut ditengarai tidak sekufu, maka resiko membangun rumah tangga kelak baik dalam rumah tangga maupun lingkungan sangat besar.
- Wali Dalam Pandangan Ulama modern
Setelah mengemukakan pendapat ulama klasik yakni mazhab Abu Hanifah dan Mazhab Syafi’i kita mengemukakan pendapat atau tinjauan ulama atau cendekiawan kontemporer yang menganalisa sebuah masalah ditinjau dari latar belakang historis sosiologis. Ulama dulu mempunyai metodologi yang kuat dalam membahas tentang wali nikah, tidak salah juga dikemukakan metode atau pandangan ulama modern memandang Wali dalam pernikahan. Untuk mengetahui pandangan pemikir kontemporer tentang wali dalam pernikahan maka perlu dikemukakan secara historis sosiologis sehingga terbentuk hukum tentang wali . Pendekatan Sosio historis dimaksudkan untuk mengetahui kondisi sejarah bangsa Arab awal tentang kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan juga untuk mengetahui struktur masyarakat Arab awal sehingga bisa didapatkan bahan untuk mengetahui latar belakang timbulnya hukum wali nikah dominan dipegang laki-laki.
Menurut Smith perkawinan Baal adalah satu-satunya jenis hubungan antar jenis kelamin yang dianggap sah pada masa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam masyarakat Arab terdapat dua jenis kekerabatan dan perkawinan yakni matrilineal dan perkawinan shadiqah. Serta patrilineal dengan perkawinan baal Kedua jenis perkawinan ini mengantarkan kepada hukum kekerabatan yang berbeda dan mengakibatkan perbedaan-perbedaan yang penting dalam posisi perempuan dan juga dalam keseluruhan struktur hubungan sosial.
Smith menyebutkan bahwa Perkawinan shodiqoh adalah perkawinan yang didalamnya tidak ada penundukan satu pihak atas pihak lainnya, istri adalah partner suami begitu pula sebaliknya. Perkawinan shodiqoh menurut Smith mencakup dua perkawinan, jenis pertama perempuan tetap dalam sukunya dan memilih serta menolak pasangannya jika mau. Anak-anak yang lahir menjadi milik suku ibunya dan tumbuh di bawah perlindungan suku ibu. Perkawinan tersebut juga bisa dinamakan beena yaitu perkawinan yang menjadikan suami tinggal di desa istri. Kedua perkawinan mut’ah adalah perkawinan yang antara laki-laki dan perempuan tanpa ada intervensi dari kerabat istri yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan perempuan mendapatkan suatu pemberian dari laki-laki. Dalam perkawinan ini perempuan tidak meninggalkan rumahnya, kerabat-kerabat tidak memberikan hak-hak yang mereka miliki atasnya, dan anak-anak hasil perkawinan tidak menjadi milik suami.
Sedangkan dalam perkawinan baal perkawinan dibawah pengaruh kekerabatan suami, dimana istri mengikuti suaminya dan melahirkan anak-anak yang menjadi keturunan suami. Istri kehilangan hak untuk menceraikan suaminya sebaliknya suami mempunyai hak talak. Suami disini disebut sebagai tuan pemilik perempuan. Perkawinan ini bia dsebut juga Dominion.
Perkawinan baal ini pada mulanya berasal dari penangkapan tawanan wanita dan berlaku sampai masa nabi Muhammad SAW kemudian dilanjutkan dengan perkawinan melalui pembelian dengan memberikan mahar kepada orang tua perempuan. Dalam perkawinan ini perempuan tetap dalam kekuasaan laki-laki. Mahar adalah pemberian yang ditujukan untuk wali sedang pemberian untuk perempuan dinamakan sodaq. Mahar pada masa awal adalah harga perempuan Wali membelanjakan untuk kepentingan perempuan ketika pindah ke rumah suaminya atau juga terkadang wali mengambil keseluruhan untuk dirinya sebagai tambahan kekayaan. Pada masa Islam terdapat ungkapan hanian laka nafeeza yang biasa digunakan untuk mengucapkan selamat kepada seorang bapak pada saat kelahiran seorang anak perempuan, yang berarti bahwa anak perempuan tersebut diterima dengan senang hati sebagai suatu tambahan bagi kekayaan bapak. karena ketika bapak mengawinkan anak perempuan bapak dapat menambahkan unta yang dibayarkan kepadanya sebagai mahar kepada kelompoknya. Mahar dianggap sebagai kompensasi atas hilangnya pelayanan anak perempuan di rumah bapaknya.
Para kepala suku dan orang-orang yang memiliki status sosial tinggi di dalam masyarakat Arab pra-islam, biasa menjual anak-anak perempuan mereka dalam perkawinan. Harga yang diminta atau mahar untuk perempuan sangat tinggi sehingga kalangan Baduy banyak laki-laki yang tidak mampu menikah dan akhirnya berzina dengan pelacur. Pada zaman Nabi Muhammad SAW budaya mahar tinggi disederhanakan, kadang meski dengan cincin besi. Mahar yang awalnya dianggap harga seorang perempuan kemudian diubah dengan sebutan nihlah dalam Alquran yakni pemberian yang tidak disertai imbalan apapun. Tetapi sebagai bukti cinta dan ikatan kekerabatan dan kasih sayang. Proses pemaknaan mahar sebagai bukti kasih sayang dan kekerabatan adalah sebagai tujuan Alquran guna menjadikan perempuan sebagai subjek, di mana sebelumnya hanya menjadi objek dalam perkawinan, hal tersebut juga sejalan dengan tujuan Al-Quran yang mengajarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, yang membedakan hanya sejauh mana seorang beramal dan bertakwa kepada Allah SWT.
- Wali dalam hukum positif Indonesia
Dalam hukum positif perkawinan di Indonesia, wali nikah menjadi salah satu rukun nikah, tanpanya pernikahan tidak sah. Sejalan dengan itu prinsip wali adalah wali nasab kecuali dalam kondisi tertentu pindah menjadi wali hakim. Perpindahan wali nasab ke hakim disebabkan beberapa hal, yakni:
- Tidak ada wali nasab
- Tidak mungkin menghadirkan
- Tidak diketahui tempat tinggal wali nasab
- Wali nasab enggan menikahkan. Dalam kondisi semacam ini memerlukan putusan pengadilan agama
Perwalian ialah kekuasaan melakukan akad dan transaksi, baik akad maupun akad lainnya tanpa ketergantungan kepada orang lain. Didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf h perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua. Dalam pernikahan wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Ada beberapa pembagian wali Nikah yang didasarkan atas:
a. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 ayat (2) menyebutkan hanya dua macam wali nikah yang terbagi atas :
1. Wali Nasab
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, dimana kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai urutan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan.
2. Wali Hakim yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
b. Menurut Kekuasaannya
Wali-wali ini apabila dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi yaitu:
1. Wali Mujbir yaitu wali yang terdiri dari ayah hingga ke atas.
2. Wali Ghairu Mujbir yaitu wali yang terdiri selain yang disebut di atas tadi yaitu:
a. Saudara laki-laki seibu sebapak.
b. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak.
c. Saudara laki-laki seibu.
d. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.
- Wali Hakim yaitu kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjukkan olehnya, dan yang ketiga ini (hakim) apabila betul-betul tidak ada wali yang yang tadi, ataupun ashabah–ashabah tidak ada, maka berpindahlah wali itu kepada Hakim (qadhi) sesuai menurut Hadist Rasulullah SAW yang berbunyi:
Tidak nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan Sultan menjadi wali apabila tidak ada wali untuknya, dikeluarkan oleh Tabrani.
c. Menurut izin
Perwalian dalam nikah adalah kekuatan untuk melangsungkan akad nikah yang terlaksana tanpa tergantung pada izin seseorang. Perwalian ini ada dua macam:
- Perwalian terbatas dalam akad nikah
Perwalian terbatas adalah kekuatan seseorang untuk menikahi dirinya sendiri tanpa tergantung pada izin seseorang. Para fuqaha bersepakat bahwa hal itu berlaku bagi seorang laki-laki dewasa yang berakal. Apabila ia menikahkan dirinya kepada yang ia kehendaki maka nikahnya sah dan orang lain tidak berhak menolak, baik ia menikah dengan mas kawin matsal atau lebih dari itu. Baik ia menikah dengan orang yang setara dengannya ataupun tidak.
2. Perwalian yang tidak terbatas dalam pernikahan
Adapun perwalian yang tidak terbatas adalah seseorang yang berhak menikahkan orang lain secara paksa. Perwalian seperti ini dinamakan juga dengan perwalian paksa (wilayah ijbar).
Menurut fiqih Islam, perkawinan itu sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun yang dimaksud dengan syarat yaitu : sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Rukun yaitu: sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Adapun yang menjadi syarat perkawinan ialah adanya kata sepakat diantara pihak-pihaknya, calon istri sudah baligh atau dewasa dan tidak ada hubungan atau halangan yang dapat merintangi perkawinannya. Sedangkan yang menjadi rukun perkawinan ialah adanya calon pengantin, adanya wali nikah, adanya dua orang saksi dan adanya ijab qabul. Jadi wali nikah merupakan salah satu rukun perkawinan.
Adapun didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Islam yaitu muslim, aqil dan baligh. Di dalam pelaksanaan perkawinan, ijab (penyerahan) selalu dilaksanakan oleh wali mempelai perempuan sedangkan qabul (penerimaan) dilaksanakan oleh mempelai laki-laki.
Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa wali dalam suatu akad perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai perempuan yang bertindak untuk menikahkannya. Apabila ketentuan terakhir ini tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut tidak sah karena cacat hukum dalam pelaksanaannya. Sehingga perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh Pengadilan Agama di tempat perkawinan tersebut dilaksanakan.
Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi’i mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan garis ibu.
BAB III
ANALISIS WALI NIKAH
Adanya perbedaan dalam memandang perempuan sebagai wali nikah sebagaimana dikemukakan diatas menggugah kesadaran kita untuk kembali merenungkan Kenapa wali nikah sebagai yang tercantum dalam KHI memper syaratkan laki-laki. Di tingkat ulama klasik yakni dalam hal ini pandangan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi mempunyai pandangan yang berbeda. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh Wali dari kalangan perempuan karena perempuan mempunyai kekurangan dalam menentukan kehidupannya dimana perempuan lebih mengedepankan perasaan sedangkan dalam pandangan Mazhab Hanafi perempuan bisa menjadi wali bagi diri dan orang lain.
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat Mazhab Syafi’i tentang wali lebih sesuai dengan KHL sehingga pendapat Mazhab Hanafi tidak digunakan. Hal tersebut logis karena Mazhab Syafi’i lebih dikenal dan lebih banyak digunakan pendapatnya oleh para ulama Indonesia sehingga pendapat Mazhab Syafi’i diadopsi dalam kompilasi hukum Islam. Sebenarnya selain Mazhab Syafi’i ada pendapat mazhab mazhab lain sebagaimana pendapat mazhab Hanafi yang sedang kita bahas karena beberapa hal maka pendapat Syafi’i lebih masyhur atau dikenal di Indonesia Hal tersebut disebabkan karena hubungan Ulama Indonesia dan para ulama Syafi’iyah tatkala bertemu dalam musim Haji, banyaknya ulama Hadramaut yang pindah atau melakukan perjalanan ke Indonesia sehingga Kerajaan awal Islam Indonesia sudah menganut Mazhab Syafi’i dan hanya mazhab tersebutlah yang lebih banyak dipelajari pada waktu itu. Hal tersebut mengakibatkan kantor kantor agama dan kepenghuluan hanya memiliki kitab-kitab yang berhaluan Syafi’iyah. Karena beberapa alasan diatas maka pegawai pegawai kantor juga menetapkan putusan hanya dengan menggunakan Mazhab Syafi’i. Maka KHI yang mempunyai aroma Mazhab syafii menjadi wajar dan bisa dipahami karena berdasar sejarah di atas.
Akses yang sama juga diberikan kepada warga negara baik laki-laki maupun perempuan mengakibatkan pengetahuan dan keahlian perempuan tidak bisa dilihat sebelah mata. Banyak dari kalangan perempuan karena adanya akses yang sama dalam pendidikan dan pengalaman dalam berbagai posisi strategis masyarakat muncul profesi-profesi penting yang dimiliki kaum perempuan, yang berbeda dengan awal awal kebangkitan kemerdekaan, posisi perempuan tersebut bermacam-macam dari hakim, dokter, jabatan legislatif dan juga eksekutif yang mempunyai tingkat keberhasilan yang sama dengan keberhasilan yang dicapai laki-laki.
Menurut Mahmud Syaltut bahwa tabiat kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama Allah menganugerahkan kepada perempuansebagaimana Allah menganugerahkan kepada laki-laki, Allah menganugerahkan kepada mereka berdua potensi dan kemampuan Yang sama Dalam memikul tanggung jawab sehingga keduanya bisa melakukan aktivitas yang sama yang bersifat umum maupun khusus karena itu hukum Islam meletakkan keduanya dalam satu kerangka, laki-laki Menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin melanggar dan dihukum menuntut dan menjadi saksi dan perempuan juga demikian sebagaimana laki-laki Menjual dan membeli mengawinkan dan kawin melanggar dan dihukum menuntut dan menjadi saksi.
Atas dasar kesetaraan beban hukum laki-laki dan perempuan, maka perempuan yang mempunyai kecakapan yang sempurna, mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam hal untuk menikahkan baik untuk dirinya maupun orang lain, hal ini sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi. sebaliknya pendapat Mazhab Syafi’i banyak cocok sesuai dengan kondisi sejarah tatkala tidak terpenuhinya syarat-syarat keahlian seorang perempuan. Hal itu cocok dengan kaidah yang menyatakan berubah hukum sesuai dengan perubahan zaman dan tempat.
Dalam pembahasan wali dalam pandangan empat mazhab selain Mazhab Hanafi, laki-laki menjadi syarat utama sedangkan Mazhab Hanafi dengan membolehkan wanita menikahkan dirinya sendiri, menurut penulis sebagai kemajuan dalam memandang kesamaan laki-laki dengan wanita dalam segala akad termasuk akad nikah. Apalagi nikah merupakan akad yang disebut sebagai perjanjian berat. Beratnya terletak pada konsekwensi logis dua manusia yang beda jenis yang sama sama ciptaan Tuhan berkomitmen bersama menjaga dan memelihara perkawinan berjalan sesuai dengan cita-cita agama mewujudkan kemaslahatan bagi suami maupun istri. Kemaslahatn tidak akan terwujud jika posisi keduanya tidak imbang. Baik wanita maupun laki-laki, mempunyai tanggungjawab yang sama sesuai kodratnya, seimbang dalam ilmu, tanggungjawab, pemenuhan hak dan kewajiban. Bukan yang satu superior dan yang lain inferior
Untuk mewujudkanya, keduanya, baik laki-laki dan perempuan harus sekufu, yakni setara kewajiban dan haknya, ilmu dan pengalaman. Semakin banyak ilmu tentang tujuan yang dicapai akan memudahkan keduanya mencapai tujuanya. Kalaupun dalam kenyataanya laki-laki mempunyai akses yang baik dalam pergaulan masyarakat, pendidikan dan pengalaman bekerja di luar rumah menjadikannya sebagai tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan dan belanja keluarga, sebaliknya perempuan berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengelola pekerjaan di dalam rumah. Hal tersebut terjadi karena memang akses keluar lebih banyak dimilki seorang laki-laki dibanding perempuan.
Konsrtuksi sosial laki-laki pencari nafkah di luar rumah dan wanita pengelola pekerjaan rumah berjalan alami dan mengakar kuat menjadi kebiasaan yang pada giliranya menjadikan peran tersebut seakan akan sebagai kodrat bawaan lahir. Image peran bawaan ini turun temurun dalam pandangan masyarakat.
Akan tetapi sejalan dengan perkembangan tekhnologi dan akses pedidikan yang sama bagi laki-laki dan perempuan, tejadilah suatu kemajuan berpikir dan bertindak bagi para wanita dan pengalaman yang sama terjun dalam berbagai bidang kehidupan, memunculkan masa di mana banyak juga, dalam kenyataan perempuan atau wanita, menempati posisi yang biasanya diperankan kaum laki-laki. Kejadian atau trend semacam ini, yang sebelumnya tidak terpikirkan, terjadi dalam kenyataan, sehingga perlu adanya peninjauan ulang atas peran perempuan di wilayah masyarakat luar bukan hanya wilayah domestik rumah tangga.
Termasuk dalam isu wali nikah mensyaratkan laki-laki merupakan kosntruksi sosial masyarakat, yang dimana kesempatan dalam mencari ilmu dan pengalaman lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Dalam konstruksi masyarakat yang memberikan kesempatan mencari ilmu dan pengalaman yang sama antara laki-laki dan perempuan, maka pensyaratan wali nikah juga akan berjalan imbang antara laki-laki dan perempuan.
Pandang Mazhab Hanafi yang membolehkan wanita berakal dan dewasa menikahkan dirinya dan menjadi wali, menurut penulis mendasarkan diri pada pandangan setaranya laki laki dan perempuan dalam menentukan kemaslahatan dirinya apalagi menikah dengan orang yang berbeda jenis, maka seyogyanya calon perempuan juga dibekali dengan ilmu dan pengetahuan serta pengalaman yang cukup untuk mengenali pasanganya dan mengetahui tujuan dan hikmah berumah tangga.
Selain itu, konsep wali Mujbir yang berkembang dan dipahami kebanyakan kita adalah wali yang bisa memaksa wanita yang dibawah perwalianya. Padahal, menurut penulis, arti mujbir bukanlah memaksa tetapi menyempurnakan. Wali mujbir adalah wali yang menikahkan anaknya atau cucunya yang memandang pernikahan anaknya atau cucunya itu dengan suami pilihan bapak atau kakeknya itu lebih banyak manfaatnya bagi si perempuan itu. Karena dalam kondisi masyarakat yang menikahkan anaknya segera setelah baligh atau belum baligh, biasanya berpandangan bahwa pernikahan anaknya itu cepat atau lambat akan terjadi, maka tatkala ada pasangan yang dirasa cocok meski tanpa persetujuan lebih dahulu gadisnya, dengan segera menikahkanya. Maka arti kata mujbir dalam kondisi ini adalah bukan memaksa tapi menyempurnakan dan memilihkan pasangan yang dirasakan akan membawa kebahagian anaknya, baik lahir dan batin.
Maka kriteria pasangan itu adalah yang bisa mengantarkan pasanganya ,baik suami maupun istri, mencapai kepuasan lahir dan batin sesuai dengan tujuan agama. Kepuasan lahir dan batin akan tercapai jika setiap pasangan mempunyai akal yang sehat dan dewasa. Berakal dan dewasa bisa dimilki seorang laki-laki maupun perempuan. Bagi perempuan yang sudah dewasa maka dia lebih berhak atas dirinya dibanding wali sedangkan bagi yang belum dewasa maka wali menyempurnakanya dengan memilihkan pasanganya sesuai dengan kriteria syariat.
Dengan merujuk pada arti wali sebagai penolong, orang yang mempunyai kekuasan atas anak yang dibawah perwalianya, menunjukan pada makna bahwa seorang wali harus hadir bagi seseorang yang membutuhakn pertolongannya dan menyempurnakan kekurangan anaknya dalam memilih jodoh tapi bagi yang bisa menentukan jodohnya dan mampu memilih pasanganya sesuai dengan akal dan kedewasaanya dan tentu saja pertimbangan syariat yang dimilikinya, maka dia bisa menikahkan dirinya dan wali hanya sebagai partner atau seridaknya teman sharing dan pertimbangan dalam memilih jodoh yang baik.
BAB IV
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka pertanyaan di awal tulisan yakni
- Bagaimana pandangan wali menurut mazhab Klasik, ulama kontemporer dan hukum positif serta latar belakang historis laki laki sebagai Syarat wali
- Apakah seorang wanita yang dewasa dan mempunyai akal yang sempurna bisa menjadi wali nikah dan bisa menyelenggarakan akad nikah sendiri?
Bisa disimpulkan sebagai berikut :
- Latar belakang laki-laki menjadi syarat wali dalam KHI karena KHI mengadopsi Mazhab Syafii dalam menentukan keputusannya. Tetapi sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi perempuan yang mempunyai akses pendidikan dan pengalaman yang sama dalam profesi kemasyarakatan, maka pandangan bahwa perempuan tidak mempunyai kecakapan sebagaimana laki-laki perlu dipikirkan ulang
- Wanita dewasa bisa untuk melakukan akad nikah sendiri, menurut Mazhab Hanafi
DAFTAR PUSTAKA
Wahyudi, Muhammad Isna, Pembaharuan Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2014)
Abu Zahrah, Ahwal Assyakhsiyyah, (ttp: Darul Fikr: tt) hal. 147-148
W. Robertson Smith, Kinship And Marriage in Early Arabia, new edition, Stanley A. Cook(ed) (Oosterhot N.B, Netherlands: Anthropological Publications, 1966) hal. 172
M. Asyarbini al-Khatib, Mughni al-Mukhtaj, (Mesir: Mustafa babi al halabi wa auladuhu:1958) I, hal 147
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, hlm 94
Ibn Hamam Al-Hanafi, Syarh Fathul Qodir, (Tip:Darul Fikr, t) II1: hal. 261
Fathurrahman, Ilmu Mustolaul hadis,
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usulul fiqh, (Mesir: Darul Qolam: 1978) hal. 126
Al-Syaibani, Al-Huijah, (Ttp:alamul Kutub: t) I11, hal115
Abu Zahrah, Abu Hanifah Hayatuhu Wa atsaruhu, (Beirut: Darul Fikr:1997) hal. 393
Ibn Hammam al-hanafi, Fathul Qodir, hal 255
Syaltut, Muhamad, Min Taujihatil Islam, (Kairo: Idaroh aamah li al-Azhar, 1959)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, Cetakan Ketiga, 2009), hlm.69.
Hasballah Thaib, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, (Medan: Universitas al Azhar, 2010)
Add Comment